Sunday, November 28, 2010

Belajar Penaggulangan Bencana dari Tsunami Aceh


Judul Buku: Post Disaster Recontruction, Lesson From Aceh
Penyunting: Matthew Clarke,Ismet Fanany and Sue Kenny
Penerbit : Earth Scan, London 2010
Halaman: xvii+261
ISBN: 978-1-84407-879-0

Peristiwa sedih di pagi Minggu, pada 26 Desember 2004, tsunami Aceh, merupakan peristiwa dahsyat yang membuat dunia terkejut. Tsunami setinggi 30 meter yang menghantam pantai Ujung Sumatera hingga pantai barat itu mengakibatkan setidaknya 130 ribu orang meninggal, di Aceh saja. Sedangkan penderitaan yang terjadi setelah bencana terjadi, dicatatkan sebagai salah satu penderitaan panjang dalam sejarah bencana yang dialami umat manusia.

Peristiwa tsunami Aceh pula yang mengakibatkan setidaknya semua orang--termasuk pengambil kebijakan—mulai sadar, bahwa Indonesia memang berada di zona subduksi pertemuan patahan lempeng tektonik indo Australia, maupun indo-Pasifik. Kejadian ini pula yang mengingatkan lagi akan bahwa Indonesia harus awas bencana karena berada di kawasan yang disebut Pasific Ring of Fire (cincin api Pasifik) yang ditandai dengan adanya ‘paku-paku’ gunung yang aktif sepanjang pantai selatan Sumatera, Jawa hingga membelok ke Utara Pasifik.

Setelah keprihatinan yang mendalam dan kerusakan yang luar biasa. Maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dapat membantu korban yang masih hidup, mengembalikan kepulihan mereka atas trauma atas bencana, serta bantuan-bantuan yang membawa kehidupan kembali menjadi normal. Buku ini, barangkali merupakan salah satu catatan penting selain catatan yang pernah dibuat sendiri oleh Badan Rehabilitasi Rekontruksi Aceh dan Nias, (BRR) yang mencatatnya dalam laporan lengkap yang terdiri beberapa jilid buku.

Sebagai tempat yang unik dan dalam peta sejarah maupun politik: Aceh merupakan daerah istimewa (DI), mempunyai otomi sendiri, mengalami berbagai peristiwa politik pergerakan dari mulai kemerdekaan hingga upaya untuk merdeka, seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Disamping itu, Aceh juga istimewa dan unik karena budaya dan entitas masyarakatnya yang plural. Maka tidak lah mudah untuk melakukan pendekatan dan langkah kontruksi yang dianggap tepat.

Buku ini berupaya membedah kompleksitas tinggi sebuah upaya rekontruksi dan rehabilitasi pasca bencana dirancang dengan baik karena menyesuaikan dengan konteks dan kemudian studi kasus. Untuk Bagian pertama misalnya diletakkan tiga komponen yang menjadi konteks rekontruksi: yaitu peranan syariat Islam, peran politik dan rekontruksi yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat.

Pengalaman dan catatan buku setebal 261 halaman ini sangat penting guna memahami proses terstruktur maupun parsial dalam rekontruksi di Aceh. Ada analisa, bahwa kebutuhan rekontruksi harus dilakukan secara tumpang tindih: pertama rekontruksi sebagai upaya bantuan langsung untuk menyelamatkan kehidupan, kedua masa restorasi, rehabilitasi dan pemulihan untuk para korban yang hidup untuk kembali hidup normal dan selanjutnya adalah membangun kembali dan meperbaharui, atau membangun dengan cara yang lebih baik. Dalam konteks terakhir ini, masyarakat Aceh bukan saja dibantu menjadi hidup normal seperti semula, namun dirancang pula bagaimana mereka kedepan hidup lebih baik dan sejahtera, damai dan berkelanjutan (hal 14).

Dalam berbagai hal, kendala rekontruksi yang mengutamakan pembangunan fisik juga harus diperhitungkan dimana objek rekontruksi sangat berbeda-beda. Setelah tsunami, menjadi prioritas tertinggi adalah tanggap darurat (emergency) untuk penyediaan makanan, penyediaan air minum dan bersih, bantuan kesehatan dan tempat sementara (shelter). Kebutuhan primer tersebut, pada nyatanya, tak juga bisa dipenuhi tanpa memperhatikan yang lain seperti infrasrtuktur fisik, yaitu rumah, jalan, masjid, rumah sakit dan sekolah bagi kawasan yang terkena dampak langsung tsunami.
Ada pengalaman menarik dengan rekontruksi Aceh yang dibangun secara antusias, ketika semua arah pembangunan pada infrastuktur fisik, tetapi melupakan isinya.

Misalnya, sekolah dibangun, tetapi guru tidak ada. Rumah sakit ada tetapi dokter dan peralatannya tidak ada. Perpustakaan tak ada buku bahkan staff yang ditugaskan untuk menunggunya. Komplesitas lainnya adalah, dalam hal kepemimpinan di pemerintahan: ketika tsunami terjadi banyak pegawai yang hilang, sehingga struktur administrative seperti di Banda Aceh –yang merupakan salah kawasan paling parah—harus ditata ulang.
Buku ini disamping memberikan pemandangan umum tentang bagaimana rekontruksi dilakukan, tetapi juga menganalisis secara khusus kasus dibeberapa tempat dengan mengambilnya sebagai suatu pembelajaran, misalnya Kasus di Lampuuk untuk model kontruktif interaksi antara bantuan donor dan penerima bantuan dalam konteks bencana. Dalam pengambilan keputusan di tingkat desa, maka, donor dan bantuan harus bertindak dan melakukan kerjasama yang tepat di tingkat Desa. Hal ini penting, karena masyarakat memerlukan kepemimpinan yang dipercaya dan amanah dalam pelaksanaan rekontruksi termasuk bantuan langsung. Dalam struktur desa, maka keucik atau kepala desa, di Aceh merupakan orang yang sangat dipercaya, setelah itu diikuti oleh imeum dan tuhapeut (para cerdik pandai). Keberadaan mereka merupakan komponen penting dalam membuat Aceh berhasil dalam rekontruksi dan rehabilitasi.

Buku ini juga memuat tentang suara dan peran LSM yang tidak kecil artinya, serta memaparkan peran dan pengalaman yang dilakukan oleh BRR serta upaya menyatukan persaudaraan dan komunitas keluarga dan tetangga setelah tsunami. Bagi Indonesia yang selalu rentan dan harus tanggap terhadap bencana, pengalaman dalam buku ini menjadi sangat penting dan pantas dihargai, bahkan dapat menjadi bacaan wajib para relawan dan mereka yang terlibat dalam upaya penanggulangan bencana di Indonesia.//

No comments:

Post a Comment