Tuesday, August 24, 2010

Mobilisasi Menyelamatkan Peradaban dari Bencana Perubahan Iklim

Judul: Plan B 3.0 Mobilizing to Save Civilization
Penulis: Lester R. Brown
Tahun: Desember, 2007
Tebal: xiv+398
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

Dampak dari perubahan iklim memang sudah benar-benar dapat kita rasakan. Perubahan perubahan cuaca dan pergeseran musim yang ektrim kita alami akhir –akhir ini, merupakan salah satu dampak yang paling kasat mata tersebut. Gelombang pasang (rob) yang belum pernah terjadi, telah mulai menghancurkan perumahan penduduk di pinggiran pantai di Jakarta Utara. Sebagaimana diramalkan dalam skenario pemanasan global: Cilincing, Koja, Tanjung Priok dan Penjarigan di Jakarta Utara, memang akan terkena dampak naiknya air laut, akibat terjadi perubahan ketinggian air sebagai dampak melelehnya gunung es baik di Greenland, maupun kawasan kutub yang lain.

Laporan terakhir International Panel on Climate Change (IPCC) yang melibatkan 2500 ilmuwan berkelas dari seluruh dunia (tahun 2007), memberikan penegasan bahwa perubahan iklim benar-benar terjadi dan memberikan proyeksi kemungkinan terjadi kenaikan suhu akan terjadi antara 1.1- 6.4 derajat celsius dalam abad ini (hal 50). Maka Lester Brown, menganggap –seperti dicantumkannya dalam judul buku ini---peradaban manusia terancam oleh perubahan iklim yang sekarang sudah mulai dirasakan itu.

Karya Brown ini, menjadi peringatan ‘sangat keras’ pada kita yang menjalankan business as usual (BAU) seperti yang kita lakukan sekarang ini dimana perkembangan ekonomi yang tidak efisien dan ramah lingkungan, gaya hidup yang boros bahan bakar –terutama yang berbasis pada bahan bakar fosil—penebangan hutan dan pembukaan lahan yang massif untuk mengejar keuntungan ekonomi jangka pendek tanpa pertimbangan dan penyesuaian ekonomi yang baik, akan memperparah kesulitan kehidupan di masa yang akan datang. Sebab, dengan cara-cara biasa ini, gas-gas rumah kaca (GRK) termasuk diantaranya emisi CO2, tidak berhasil diturunkan, bahkan cenderung terus meningkat sejalan dengan gaya hidup dan keperluan manusia yang tidak mau berubah.

Dapat dibayangkan --mulai dari sekarang--secara perlahan kenaikan air laut menyebabkan kehilangan sebagian lahan pinggiran pantai dan tenggelamnya pulau-pulau kecil disamping meningkatnya intrusi air laut mencemari kualitas air di darat. Disamping itu, penghangatan suhu yang terjadi di laut mengakibatkan penurunan tangkapan produksi ikan, sebab ikan akan bermigrasi atau sebaliknya kekayaan keanekaragaman hayati laut semakin pupus akibat pemutihan terumbu karang atau terganggunya produktifitas jasad renik seperti plankton yang menjadi mata rantai makanan dalam ekosistem laut.

Perubahan iklim juga berdampak pada peningkatan curah hujan akibat evaporasi yang bertambah banyak. Peningkatan curah hujan ini akan berdampak—biasanya secara tiba-tiba-- menjadi bencana lingkungan yang rutin, misalnya banjir dan tanah longsor.

Maka, peradaban manusia pun, terancam kacau balau. Oleh sebab itu, kita pun hendaknya segera bertambah awas, merubah pola hidup dan mendidik generasi muda agar waspada terhadap ‘kecelakaan’ iklim yang akan pasti datang karena peristiwa lingkungan yang terjadi, misalnya melelehnya glatsier di Greeland dan Pegunungan Himalaya, menaiknya suhu bumi, tidak dapat dikembalikan segera tanpa adanya sebuah ‘revolusi’ peradaban yang harus dimulai sekarang juga.

Sementara dampak perubahan iklim telah terasa, pembicaraan formal antar negara—seperti yang dilakukan di Bali bulan Desember tahun lalu—terasa sangat lamban membawa manusia merubah sikapnya. Brown mengajak, kita harus bertindak sekarang juga ( h.265). Bayangkan saja, setelah ada Bali Road Map yang menjadi mandat dari UNFCCC-COP 13, maka perlu beberapa tahun lagi berbagai bangsa menguras tenaga dan pikiran dalam konferensi demi konferensi: COP 14 di Warsawa, dan COP 15 di Copenhagen, setelah itu lalu ada pengganti Protokol Kyoto pasca tahun 2012. Protokol baru lagi akan memakan waktu bertahun-tahun untuk meratifikasi konvensi baru tersebut! Padahal banyak bangsa –termasuk Indonesia—telah menjadi babak belur dengan bencana-bencana lingkungan.

Tindakan terbaik melakukannya sekarang adalah dengan kesadaran dan sukarela. Beberapa negara dan bangsa, memang ada yang telah lebih dahulu bersikap untuk secara memulai merubah sikap baik secara politis hingga pada tingkat aksi. Misalnya apa yang dilakukan oleh Selandia Baru, PM Helen Clarke, mengumumkan akhir tahun 2007 lalu, bahwa negaranya akan merubah energi listriknya menjadi 70 persen berbasis hidro dan geothermal, dan perubahan ini akan menjadi 90 persen pada tahun 2025. Negeri ini juga akan memotong emisi karbon perkapita penduduknya dari segi transportasi menjadi setengahnya pada tahun 2040 dan negeri Kiwi ini berencana berekspansi mengembangkan kawasan hutannya menjadi 250,000 hektar pada tahun 2020, yang diperkirakan akan mengikat 1 juta ton karbon setahun.

Buku ini menawarkan Rencana B, karena rencana A, adalah gaya hidup seperti adanya sekarang (bussines as usual—BAU) yang ternyata tidak dapat menghindarkan kita dari ancaman pemanasan global. Pada rencana B pada seperti dianjurkan oleh Brown, adalah upaya bagaiman kita –secepat mungkin menurunkan tingkat emisi secara drastis dengan melakukan berbagai restrukturisasi. Ada dua hal yang harus direstrukturisasi untuk menurunkan emisi CO2: pertama, restrukturisasi energi yang terdiri upaya menggantikan bahan bakar fosil pada sumber enernya yang berkelanjutan dan terperbarukan untuk listrik serta bahan bakar. Kedua, penyesuaian juga harus dilakukan di bidang sistem transportasi, serta pengurangan pemanfaatan batu bara dan minyak bumi di bidang industri. Ketiga, upaya harus juga dilakukan dengan mempertahankan dan menambah keseimbangan daya serap karbon, dengan cara: menghentikan sama sekali pembukaan lahan dan hutan, menanam kembali pohon untuk menyerap karbon, dan mengelola lahan untuk mengikat karbon (h. 274). Angka-angka realistis untuk menuju pada keselamatan peradaban dibuat dalam buku ini. Namun itu semua kembali pada komitmen global dan kekompakan memobilisasi bangsa dari berbagai negara yang merupakan pekerjaan yang tidak ringan.

Diakhir buku ini, Brown yang telah lama menjadi penulis lingkungan, melemparkan pertanyaan yang sanga substantif: “Persoalannya memang akan kembali kepada kita semua: anda dan saya. Apakah kita akan tetap pada BAU mengejar keuntungan ekonomi sambil menghancurkan sistem alami yang ada hingga kita turut hancur bersamanya atau kita segera mengadopsi Rencana B yang menjadi arah bagi generasi kita maupun generasi mendatang dalam mengelola kehidupan di muka bumi. Pilihan ini, harus diputuskan oleh generasi kita sekarang yang akan berdampak pada kehidupan di bumi untuk generasi yang akan datang”. Buku ini dipenuhi referensi dan bukti-bukti kajian global tentang akibat langsung yang mulai dirasakan terjadi akibat perubahan iklim, sehingga para pengambil kebijakan sepantasnya membacanya dan mempertimbankan rencana B yang ditulis dan dikaji oleh Brown dengan bersusah payah. ***

---Fachruddin M. Mangunjaya, bekerja sebagai staff di Conservation International Indonesia.