Judul Buku: Islam Peduli Lingkungan (Modul Suplemen Pendidikan Al Islam Berwawasan Lingkungan untuk SMA, MA & SMK)
Penulis: Fachruddin Mangunjaya dkk
Editor: Muhd. Abdullah Darraz
Penerbit: Maarif Institute, Jakarta
Tahun: 2011
Tebal: viii+180 halaman
Modul seperti ini untuk pertama kalinya dibuat merangkum pemikiran yang agak komprehensip dan praktis tentang Islamic Ethic for the Environtment and Nature Conservation, atau juga disebut dengan Islamic Environmentalism.
Selain pengayaan pada segi Islamic Ethic, buku ini juga meramu tentang kearifan lokal dalam pelestarian alam unsur kekinian terkait lingkungan misalnya tentang pelestarian keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.
Kegiatan pelatihan diadakan dengan tajuk: "Training Penguatan Kapasitas Kepala Sekolah dan Tenaga Pendidik Mata Pelajaran Agama dalam Merespon Pemanasan Global dan Perubahan Iklim" diadakan di dua Tempat yaitu di Bandung dan Cirebon--tanggal 22 -24 dan 29-31 Agustus 2011--yang melibatkan guru dan kepala sekolah SMA maupun sekolah Menengah Kejuruan Muhammadiyah yang ada di Jawa Barat: Garut, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Cirebon, Indramayu, Tasikmalaya, Kuningan dll. Peserta pelatihan, menurut pihak Maarif adalah mereka yang lulus seleksi setelah mengirimkan jawaban atas pertanyaan yang dikirimkan dalam undangan pada sirkulasi pengumuman pertama kegiatan.
Berita Terkait:
Guru, Kepala Sekolah dan Perubahan Iklim
Link Terkait:
Book Review
Saya menjadi relawan untuk mereview buku-buku Earthscan, beberapa buku ini belum dipublikasikan dan masih asli. Apabila ada penerbit akademis yang ingin mempublikasik buku tersebut saya persilahkan 'free'dengan memberikan laporan hasil terbitannya kepada saya. Untuk buku-buku baru terutama tentang lingkungan, konservasi, biodiversity, konservasi, bisa menghubungi email saya. --terima kasih
Tuesday, March 20, 2012
Monday, January 31, 2011
Mengulas Balik Sejarah Taman Nasional
Judul: Nature Spectacle, World First National Park and Protected Places
Penulis: John Sheail
Penerbit: Earth Scan, London. 2010
Halaman: ix+347
ISBN: 978-1-8471-129-6
Taman nasional, dipandang sebagai puncak keberhasilan dalam melakukan konservasi. Biasanya, keberhasilan perlindungan alam asli ini, juga diperjuangkan oleh para konservasionis dengan susah payah, dengan melihat criteria yang tidak bisa dibilang gampang dan memerlukan biaya serta investasi financial yang cukup besar.
Menjadikan sebuah kawasan untuk ditabalkan menjadi sebuah taman nasional, tidak semudah membalik telapak tangan. Persiapan panjang pun kerap dilakukan, misalnya dari mulai kelayakan survey ilmiah jenis flora dan fauna didalamnya, keunikan budaya masyarakat, kekayaan keanekaragaman hayati, tipe bentang laut dan darat (landscape) yang memenuhi syarat, sebagai keunikan kawasan, serta kekuatan lain yang dapat membela kawasan tersebut untuk dapat dijadikan taman nasional.
Taman Narional Ujung Kulon, misalnya, merupakan habitat terakhir badak Jawa di Pulau Jawa. Kelangkaan spesies tersebut menjadikan TNUK sebagai tempat yang menarik untuk dilindungi. Sebab tanpa adanya kawasan ini, maka spesies unik di dunia itu, dapat dipastikan akan punah atau tidak mampu untuk menghadapi desakan manusia yang dahsyat.
Oleh karena itu, taman nasional kerap dijadikan sebagai tempat yang menarik untuk dikunjungi, menjadi ikon sebuah daerah administrative bahkan dipelihara secara ketat karena warisan alam yang ada didalamnya dianggap sebagai khasanah yang tidak tergantikan.
Buku ini menceritakan tentang keberadaan istilah ‘taman nasional’ yang muncul—dalam catatan sejarahnya pada pertengah abad 19. dan cerita tentang berdirinya taman nasional yang pertama di berbagai Negara terutama di daratan Amerika Kanada dan benua Eropa. Penulisan buku ini membagi pembahasannya dalam 13 bagian, yang menceritakan secara runtut tentang penemuan Amerika dengan berdirinya Taman Nasional Pertama di dunia Lembah Yosemite dan Yellow Stone. Kata national park sendiri dipandang sebagai suatu kata yang baru muncul pada akhir abad 19 tersebut.
Buku ini merupakan upaya merekontruksi sejarah berdirinya taman nasional yang sekarang dimanfaatkan sebagai warisan publik guna melihat keidahan alam yaitu berupa habita asli yang pantas disaksikan ditengah keriuhan teknologi baru dan pembangunan artificial yang diciptakan manusia. Selain itu, sebuah taman nasional, seperti dialami oleh berbagai Negara. adalah merupakan pemersatu bangsa, karena kawasan ini menjadi tempat bermain mereka yang datang dari berbagai pelosok negeri untuk menyaksikan keindahan alam.
Buku ini penting dibacar, karena memberikan wawasan sejarah, bahw mendirikan sebuah taman nasional, terkadang memerlukan pengorbanan yang pahit, dimana ada konflik, terutama pada masyarakat local yang tadinya sangat tergantung dengan sumber daya alam dan satwa buruan di kawasan tersebut. Kini, taman nasional bukan saja menjadi asset nasional, tetapi karana fungsinya sebagai kawasan wisata alam dan pelestarian lingkungan.
Sebuah Taman Nasional dapat menjadi asset dunia, dimana manusia antar bangsa dapat menikmati keindahan dan warisan alam yang mereka seharusnya syukuri. Sayangnya, terkadang sebuah taman nasional –seperti halnya di Indonesia--tidak mendapatkan keperdulian dan anggaran yang cukup setelah kawasan itu dinyatakan didirikan. Padahal, di taman nasional sewajarnya sebagai taman bangsa, dapat menjadi kawasan yang menarik dan penting, bukan saja fungsinya sebagai kawasan konservasi. tetapi juga sebagai perekat kesatuan dan persatuan. Disana terekam filosofi kehidupan dan ciptaan Tuhan dengan keanekaragaman alamiah yang indah –jika direnungkan—merupakan kawasan yang penuh anugerah. ***
Penulis: John Sheail
Penerbit: Earth Scan, London. 2010
Halaman: ix+347
ISBN: 978-1-8471-129-6
Taman nasional, dipandang sebagai puncak keberhasilan dalam melakukan konservasi. Biasanya, keberhasilan perlindungan alam asli ini, juga diperjuangkan oleh para konservasionis dengan susah payah, dengan melihat criteria yang tidak bisa dibilang gampang dan memerlukan biaya serta investasi financial yang cukup besar.
Menjadikan sebuah kawasan untuk ditabalkan menjadi sebuah taman nasional, tidak semudah membalik telapak tangan. Persiapan panjang pun kerap dilakukan, misalnya dari mulai kelayakan survey ilmiah jenis flora dan fauna didalamnya, keunikan budaya masyarakat, kekayaan keanekaragaman hayati, tipe bentang laut dan darat (landscape) yang memenuhi syarat, sebagai keunikan kawasan, serta kekuatan lain yang dapat membela kawasan tersebut untuk dapat dijadikan taman nasional.
Taman Narional Ujung Kulon, misalnya, merupakan habitat terakhir badak Jawa di Pulau Jawa. Kelangkaan spesies tersebut menjadikan TNUK sebagai tempat yang menarik untuk dilindungi. Sebab tanpa adanya kawasan ini, maka spesies unik di dunia itu, dapat dipastikan akan punah atau tidak mampu untuk menghadapi desakan manusia yang dahsyat.
Oleh karena itu, taman nasional kerap dijadikan sebagai tempat yang menarik untuk dikunjungi, menjadi ikon sebuah daerah administrative bahkan dipelihara secara ketat karena warisan alam yang ada didalamnya dianggap sebagai khasanah yang tidak tergantikan.
Buku ini menceritakan tentang keberadaan istilah ‘taman nasional’ yang muncul—dalam catatan sejarahnya pada pertengah abad 19. dan cerita tentang berdirinya taman nasional yang pertama di berbagai Negara terutama di daratan Amerika Kanada dan benua Eropa. Penulisan buku ini membagi pembahasannya dalam 13 bagian, yang menceritakan secara runtut tentang penemuan Amerika dengan berdirinya Taman Nasional Pertama di dunia Lembah Yosemite dan Yellow Stone. Kata national park sendiri dipandang sebagai suatu kata yang baru muncul pada akhir abad 19 tersebut.
Buku ini merupakan upaya merekontruksi sejarah berdirinya taman nasional yang sekarang dimanfaatkan sebagai warisan publik guna melihat keidahan alam yaitu berupa habita asli yang pantas disaksikan ditengah keriuhan teknologi baru dan pembangunan artificial yang diciptakan manusia. Selain itu, sebuah taman nasional, seperti dialami oleh berbagai Negara. adalah merupakan pemersatu bangsa, karena kawasan ini menjadi tempat bermain mereka yang datang dari berbagai pelosok negeri untuk menyaksikan keindahan alam.
Buku ini penting dibacar, karena memberikan wawasan sejarah, bahw mendirikan sebuah taman nasional, terkadang memerlukan pengorbanan yang pahit, dimana ada konflik, terutama pada masyarakat local yang tadinya sangat tergantung dengan sumber daya alam dan satwa buruan di kawasan tersebut. Kini, taman nasional bukan saja menjadi asset nasional, tetapi karana fungsinya sebagai kawasan wisata alam dan pelestarian lingkungan.
Sebuah Taman Nasional dapat menjadi asset dunia, dimana manusia antar bangsa dapat menikmati keindahan dan warisan alam yang mereka seharusnya syukuri. Sayangnya, terkadang sebuah taman nasional –seperti halnya di Indonesia--tidak mendapatkan keperdulian dan anggaran yang cukup setelah kawasan itu dinyatakan didirikan. Padahal, di taman nasional sewajarnya sebagai taman bangsa, dapat menjadi kawasan yang menarik dan penting, bukan saja fungsinya sebagai kawasan konservasi. tetapi juga sebagai perekat kesatuan dan persatuan. Disana terekam filosofi kehidupan dan ciptaan Tuhan dengan keanekaragaman alamiah yang indah –jika direnungkan—merupakan kawasan yang penuh anugerah. ***
Sunday, November 28, 2010
Belajar Penaggulangan Bencana dari Tsunami Aceh
Judul Buku: Post Disaster Recontruction, Lesson From Aceh
Penyunting: Matthew Clarke,Ismet Fanany and Sue Kenny
Penerbit : Earth Scan, London 2010
Halaman: xvii+261
ISBN: 978-1-84407-879-0
Peristiwa sedih di pagi Minggu, pada 26 Desember 2004, tsunami Aceh, merupakan peristiwa dahsyat yang membuat dunia terkejut. Tsunami setinggi 30 meter yang menghantam pantai Ujung Sumatera hingga pantai barat itu mengakibatkan setidaknya 130 ribu orang meninggal, di Aceh saja. Sedangkan penderitaan yang terjadi setelah bencana terjadi, dicatatkan sebagai salah satu penderitaan panjang dalam sejarah bencana yang dialami umat manusia.
Peristiwa tsunami Aceh pula yang mengakibatkan setidaknya semua orang--termasuk pengambil kebijakan—mulai sadar, bahwa Indonesia memang berada di zona subduksi pertemuan patahan lempeng tektonik indo Australia, maupun indo-Pasifik. Kejadian ini pula yang mengingatkan lagi akan bahwa Indonesia harus awas bencana karena berada di kawasan yang disebut Pasific Ring of Fire (cincin api Pasifik) yang ditandai dengan adanya ‘paku-paku’ gunung yang aktif sepanjang pantai selatan Sumatera, Jawa hingga membelok ke Utara Pasifik.
Setelah keprihatinan yang mendalam dan kerusakan yang luar biasa. Maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dapat membantu korban yang masih hidup, mengembalikan kepulihan mereka atas trauma atas bencana, serta bantuan-bantuan yang membawa kehidupan kembali menjadi normal. Buku ini, barangkali merupakan salah satu catatan penting selain catatan yang pernah dibuat sendiri oleh Badan Rehabilitasi Rekontruksi Aceh dan Nias, (BRR) yang mencatatnya dalam laporan lengkap yang terdiri beberapa jilid buku.
Sebagai tempat yang unik dan dalam peta sejarah maupun politik: Aceh merupakan daerah istimewa (DI), mempunyai otomi sendiri, mengalami berbagai peristiwa politik pergerakan dari mulai kemerdekaan hingga upaya untuk merdeka, seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Disamping itu, Aceh juga istimewa dan unik karena budaya dan entitas masyarakatnya yang plural. Maka tidak lah mudah untuk melakukan pendekatan dan langkah kontruksi yang dianggap tepat.
Buku ini berupaya membedah kompleksitas tinggi sebuah upaya rekontruksi dan rehabilitasi pasca bencana dirancang dengan baik karena menyesuaikan dengan konteks dan kemudian studi kasus. Untuk Bagian pertama misalnya diletakkan tiga komponen yang menjadi konteks rekontruksi: yaitu peranan syariat Islam, peran politik dan rekontruksi yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
Pengalaman dan catatan buku setebal 261 halaman ini sangat penting guna memahami proses terstruktur maupun parsial dalam rekontruksi di Aceh. Ada analisa, bahwa kebutuhan rekontruksi harus dilakukan secara tumpang tindih: pertama rekontruksi sebagai upaya bantuan langsung untuk menyelamatkan kehidupan, kedua masa restorasi, rehabilitasi dan pemulihan untuk para korban yang hidup untuk kembali hidup normal dan selanjutnya adalah membangun kembali dan meperbaharui, atau membangun dengan cara yang lebih baik. Dalam konteks terakhir ini, masyarakat Aceh bukan saja dibantu menjadi hidup normal seperti semula, namun dirancang pula bagaimana mereka kedepan hidup lebih baik dan sejahtera, damai dan berkelanjutan (hal 14).
Dalam berbagai hal, kendala rekontruksi yang mengutamakan pembangunan fisik juga harus diperhitungkan dimana objek rekontruksi sangat berbeda-beda. Setelah tsunami, menjadi prioritas tertinggi adalah tanggap darurat (emergency) untuk penyediaan makanan, penyediaan air minum dan bersih, bantuan kesehatan dan tempat sementara (shelter). Kebutuhan primer tersebut, pada nyatanya, tak juga bisa dipenuhi tanpa memperhatikan yang lain seperti infrasrtuktur fisik, yaitu rumah, jalan, masjid, rumah sakit dan sekolah bagi kawasan yang terkena dampak langsung tsunami.
Ada pengalaman menarik dengan rekontruksi Aceh yang dibangun secara antusias, ketika semua arah pembangunan pada infrastuktur fisik, tetapi melupakan isinya.
Misalnya, sekolah dibangun, tetapi guru tidak ada. Rumah sakit ada tetapi dokter dan peralatannya tidak ada. Perpustakaan tak ada buku bahkan staff yang ditugaskan untuk menunggunya. Komplesitas lainnya adalah, dalam hal kepemimpinan di pemerintahan: ketika tsunami terjadi banyak pegawai yang hilang, sehingga struktur administrative seperti di Banda Aceh –yang merupakan salah kawasan paling parah—harus ditata ulang.
Buku ini disamping memberikan pemandangan umum tentang bagaimana rekontruksi dilakukan, tetapi juga menganalisis secara khusus kasus dibeberapa tempat dengan mengambilnya sebagai suatu pembelajaran, misalnya Kasus di Lampuuk untuk model kontruktif interaksi antara bantuan donor dan penerima bantuan dalam konteks bencana. Dalam pengambilan keputusan di tingkat desa, maka, donor dan bantuan harus bertindak dan melakukan kerjasama yang tepat di tingkat Desa. Hal ini penting, karena masyarakat memerlukan kepemimpinan yang dipercaya dan amanah dalam pelaksanaan rekontruksi termasuk bantuan langsung. Dalam struktur desa, maka keucik atau kepala desa, di Aceh merupakan orang yang sangat dipercaya, setelah itu diikuti oleh imeum dan tuhapeut (para cerdik pandai). Keberadaan mereka merupakan komponen penting dalam membuat Aceh berhasil dalam rekontruksi dan rehabilitasi.
Buku ini juga memuat tentang suara dan peran LSM yang tidak kecil artinya, serta memaparkan peran dan pengalaman yang dilakukan oleh BRR serta upaya menyatukan persaudaraan dan komunitas keluarga dan tetangga setelah tsunami. Bagi Indonesia yang selalu rentan dan harus tanggap terhadap bencana, pengalaman dalam buku ini menjadi sangat penting dan pantas dihargai, bahkan dapat menjadi bacaan wajib para relawan dan mereka yang terlibat dalam upaya penanggulangan bencana di Indonesia.//
Wednesday, September 1, 2010
Falsafah dan Prinsip dalam Monitoring Ekologi
Judul Buku:Effective Ecological Monitoring
Pengarang: David M.Lindenmayer & Gene E. Likens
Penerbit : Earth Scan, London 2010
Halaman: ix+170
Buku ini merupakan memaparkan tentang aturan kerangka kerja dan meletakkan landasan filsafat tentang monitoring ekologi secara efektif. Seperti yang dikatakan oleh penulisnya, buku ini bukanlah suatu petunjuk manual petunjuk lapangan, yang menyangku misalnya berapa titik bata interval untuk menghitung jumlah burung secara transek atau alat apa yang dapat digunakan untuk melacak perubahan udara. Dalam buku ini kedua penulis menuangkan berbagai pengalamannya dan memberikan contoh monitoring yang baik tentang kasus monitoring ekologi baik jangka pendek, menengah atau jangka panjang.
Kedua penulis yang bekerja sebagai peneliti masing masing banyak berpengalaman terutaman dalam melakukan monitoring ekosistem danau. David Lindenmayer berpengalaman untuk menuangkan perspektif tentang penelitian jangka panjang dan monitoring proyek di beberapa kawasan di Ausralia. Beliau adalah professor riset dari Australian National University yang telah berpengalaman kerja untuk konservasi keanekaragaman hayati selama lebih dari 25 tahun.
Sedangkan Gene Likens berpengalaman kerja panjang telah mempelajari ekosistem terutama dalam kaitan kerjanya di Hubbard Brook Ecosystem Study sejak tahun 1962. Beliau adalah guru besar sekaligus Direktur Pendiri Institute Ecosystem Studies dan Millbrook, New York.
Sekali melihat buku ini memang akan timbul kesan seperti buku petunjuk teknis, namun ternyata bukan.
Buku yang terdiri dari lima bab ini, ditulis pendek-pendek dilengkapi dengan sub judul dan topik yang dibuat secara sistematik, dengan pembahasan per bab hingga kesimpulan dan pustaka, dengan cara ini buku dapat dibaca secara random tanpa alur harus mempelajari bab sebelumnya. Bab I membahas hal yang mendasar dalam monitoring, termasuk tiga bentuk monitoring – keingintahuan- dorongan (driven) atau monitoring secara passive (passive monitoring), moniroting yang dimandatkan (mandated monitoring) dan monitoring yang didasarkan pada pertanyaan (question-driven monitoring).
Dalam buku ini, diberikan juga tentang outline nilai –nilai ekologi yang dapat menghasilkan data jangka panjang, dalam bab satu dibahas pula tentang kelemahan pencatatan dalam program system monitoring data, yang kemudian diberikan cara dan solulinya untuk mengatasinya pada buku ini. Dalam buku ini juga dituliskan tentang mengapa langkah monitoring bisa dikatakan gagal atau seringkali gagal. Oleh sebab itu dibahas juga kerangka kerja monitoring yang adaptif ( Adaptive Monitoring framework) yang dapat membantu memberikan gambaran tentang karakterisasi dan melakukan monitoring jangka panjang yang efektif.
Buku dilengkapi dengan box yang menarik dari studi kasus tentan monitoring ekosistem yang pernah dilakukan di berbagai Negara termasuk kasus kebakarang terhadap ekosistem hutan yang tejadi di Victoria Australian bulan Februari 2009.
--Fachruddin Mangunjaya, Mahasiswa Doktor Program Studi Lingkungan (PSL, Bogor Agricultural University Institute Pertanian Bogor)
Tuesday, August 24, 2010
Mobilisasi Menyelamatkan Peradaban dari Bencana Perubahan Iklim
Judul: Plan B 3.0 Mobilizing to Save Civilization
Penulis: Lester R. Brown
Tahun: Desember, 2007
Tebal: xiv+398
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Dampak dari perubahan iklim memang sudah benar-benar dapat kita rasakan. Perubahan perubahan cuaca dan pergeseran musim yang ektrim kita alami akhir –akhir ini, merupakan salah satu dampak yang paling kasat mata tersebut. Gelombang pasang (rob) yang belum pernah terjadi, telah mulai menghancurkan perumahan penduduk di pinggiran pantai di Jakarta Utara. Sebagaimana diramalkan dalam skenario pemanasan global: Cilincing, Koja, Tanjung Priok dan Penjarigan di Jakarta Utara, memang akan terkena dampak naiknya air laut, akibat terjadi perubahan ketinggian air sebagai dampak melelehnya gunung es baik di Greenland, maupun kawasan kutub yang lain.
Laporan terakhir International Panel on Climate Change (IPCC) yang melibatkan 2500 ilmuwan berkelas dari seluruh dunia (tahun 2007), memberikan penegasan bahwa perubahan iklim benar-benar terjadi dan memberikan proyeksi kemungkinan terjadi kenaikan suhu akan terjadi antara 1.1- 6.4 derajat celsius dalam abad ini (hal 50). Maka Lester Brown, menganggap –seperti dicantumkannya dalam judul buku ini---peradaban manusia terancam oleh perubahan iklim yang sekarang sudah mulai dirasakan itu.
Karya Brown ini, menjadi peringatan ‘sangat keras’ pada kita yang menjalankan business as usual (BAU) seperti yang kita lakukan sekarang ini dimana perkembangan ekonomi yang tidak efisien dan ramah lingkungan, gaya hidup yang boros bahan bakar –terutama yang berbasis pada bahan bakar fosil—penebangan hutan dan pembukaan lahan yang massif untuk mengejar keuntungan ekonomi jangka pendek tanpa pertimbangan dan penyesuaian ekonomi yang baik, akan memperparah kesulitan kehidupan di masa yang akan datang. Sebab, dengan cara-cara biasa ini, gas-gas rumah kaca (GRK) termasuk diantaranya emisi CO2, tidak berhasil diturunkan, bahkan cenderung terus meningkat sejalan dengan gaya hidup dan keperluan manusia yang tidak mau berubah.
Dapat dibayangkan --mulai dari sekarang--secara perlahan kenaikan air laut menyebabkan kehilangan sebagian lahan pinggiran pantai dan tenggelamnya pulau-pulau kecil disamping meningkatnya intrusi air laut mencemari kualitas air di darat. Disamping itu, penghangatan suhu yang terjadi di laut mengakibatkan penurunan tangkapan produksi ikan, sebab ikan akan bermigrasi atau sebaliknya kekayaan keanekaragaman hayati laut semakin pupus akibat pemutihan terumbu karang atau terganggunya produktifitas jasad renik seperti plankton yang menjadi mata rantai makanan dalam ekosistem laut.
Perubahan iklim juga berdampak pada peningkatan curah hujan akibat evaporasi yang bertambah banyak. Peningkatan curah hujan ini akan berdampak—biasanya secara tiba-tiba-- menjadi bencana lingkungan yang rutin, misalnya banjir dan tanah longsor.
Maka, peradaban manusia pun, terancam kacau balau. Oleh sebab itu, kita pun hendaknya segera bertambah awas, merubah pola hidup dan mendidik generasi muda agar waspada terhadap ‘kecelakaan’ iklim yang akan pasti datang karena peristiwa lingkungan yang terjadi, misalnya melelehnya glatsier di Greeland dan Pegunungan Himalaya, menaiknya suhu bumi, tidak dapat dikembalikan segera tanpa adanya sebuah ‘revolusi’ peradaban yang harus dimulai sekarang juga.
Sementara dampak perubahan iklim telah terasa, pembicaraan formal antar negara—seperti yang dilakukan di Bali bulan Desember tahun lalu—terasa sangat lamban membawa manusia merubah sikapnya. Brown mengajak, kita harus bertindak sekarang juga ( h.265). Bayangkan saja, setelah ada Bali Road Map yang menjadi mandat dari UNFCCC-COP 13, maka perlu beberapa tahun lagi berbagai bangsa menguras tenaga dan pikiran dalam konferensi demi konferensi: COP 14 di Warsawa, dan COP 15 di Copenhagen, setelah itu lalu ada pengganti Protokol Kyoto pasca tahun 2012. Protokol baru lagi akan memakan waktu bertahun-tahun untuk meratifikasi konvensi baru tersebut! Padahal banyak bangsa –termasuk Indonesia—telah menjadi babak belur dengan bencana-bencana lingkungan.
Tindakan terbaik melakukannya sekarang adalah dengan kesadaran dan sukarela. Beberapa negara dan bangsa, memang ada yang telah lebih dahulu bersikap untuk secara memulai merubah sikap baik secara politis hingga pada tingkat aksi. Misalnya apa yang dilakukan oleh Selandia Baru, PM Helen Clarke, mengumumkan akhir tahun 2007 lalu, bahwa negaranya akan merubah energi listriknya menjadi 70 persen berbasis hidro dan geothermal, dan perubahan ini akan menjadi 90 persen pada tahun 2025. Negeri ini juga akan memotong emisi karbon perkapita penduduknya dari segi transportasi menjadi setengahnya pada tahun 2040 dan negeri Kiwi ini berencana berekspansi mengembangkan kawasan hutannya menjadi 250,000 hektar pada tahun 2020, yang diperkirakan akan mengikat 1 juta ton karbon setahun.
Buku ini menawarkan Rencana B, karena rencana A, adalah gaya hidup seperti adanya sekarang (bussines as usual—BAU) yang ternyata tidak dapat menghindarkan kita dari ancaman pemanasan global. Pada rencana B pada seperti dianjurkan oleh Brown, adalah upaya bagaiman kita –secepat mungkin menurunkan tingkat emisi secara drastis dengan melakukan berbagai restrukturisasi. Ada dua hal yang harus direstrukturisasi untuk menurunkan emisi CO2: pertama, restrukturisasi energi yang terdiri upaya menggantikan bahan bakar fosil pada sumber enernya yang berkelanjutan dan terperbarukan untuk listrik serta bahan bakar. Kedua, penyesuaian juga harus dilakukan di bidang sistem transportasi, serta pengurangan pemanfaatan batu bara dan minyak bumi di bidang industri. Ketiga, upaya harus juga dilakukan dengan mempertahankan dan menambah keseimbangan daya serap karbon, dengan cara: menghentikan sama sekali pembukaan lahan dan hutan, menanam kembali pohon untuk menyerap karbon, dan mengelola lahan untuk mengikat karbon (h. 274). Angka-angka realistis untuk menuju pada keselamatan peradaban dibuat dalam buku ini. Namun itu semua kembali pada komitmen global dan kekompakan memobilisasi bangsa dari berbagai negara yang merupakan pekerjaan yang tidak ringan.
Diakhir buku ini, Brown yang telah lama menjadi penulis lingkungan, melemparkan pertanyaan yang sanga substantif: “Persoalannya memang akan kembali kepada kita semua: anda dan saya. Apakah kita akan tetap pada BAU mengejar keuntungan ekonomi sambil menghancurkan sistem alami yang ada hingga kita turut hancur bersamanya atau kita segera mengadopsi Rencana B yang menjadi arah bagi generasi kita maupun generasi mendatang dalam mengelola kehidupan di muka bumi. Pilihan ini, harus diputuskan oleh generasi kita sekarang yang akan berdampak pada kehidupan di bumi untuk generasi yang akan datang”. Buku ini dipenuhi referensi dan bukti-bukti kajian global tentang akibat langsung yang mulai dirasakan terjadi akibat perubahan iklim, sehingga para pengambil kebijakan sepantasnya membacanya dan mempertimbankan rencana B yang ditulis dan dikaji oleh Brown dengan bersusah payah. ***
---Fachruddin M. Mangunjaya, bekerja sebagai staff di Conservation International Indonesia.
Penulis: Lester R. Brown
Tahun: Desember, 2007
Tebal: xiv+398
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Dampak dari perubahan iklim memang sudah benar-benar dapat kita rasakan. Perubahan perubahan cuaca dan pergeseran musim yang ektrim kita alami akhir –akhir ini, merupakan salah satu dampak yang paling kasat mata tersebut. Gelombang pasang (rob) yang belum pernah terjadi, telah mulai menghancurkan perumahan penduduk di pinggiran pantai di Jakarta Utara. Sebagaimana diramalkan dalam skenario pemanasan global: Cilincing, Koja, Tanjung Priok dan Penjarigan di Jakarta Utara, memang akan terkena dampak naiknya air laut, akibat terjadi perubahan ketinggian air sebagai dampak melelehnya gunung es baik di Greenland, maupun kawasan kutub yang lain.
Laporan terakhir International Panel on Climate Change (IPCC) yang melibatkan 2500 ilmuwan berkelas dari seluruh dunia (tahun 2007), memberikan penegasan bahwa perubahan iklim benar-benar terjadi dan memberikan proyeksi kemungkinan terjadi kenaikan suhu akan terjadi antara 1.1- 6.4 derajat celsius dalam abad ini (hal 50). Maka Lester Brown, menganggap –seperti dicantumkannya dalam judul buku ini---peradaban manusia terancam oleh perubahan iklim yang sekarang sudah mulai dirasakan itu.
Karya Brown ini, menjadi peringatan ‘sangat keras’ pada kita yang menjalankan business as usual (BAU) seperti yang kita lakukan sekarang ini dimana perkembangan ekonomi yang tidak efisien dan ramah lingkungan, gaya hidup yang boros bahan bakar –terutama yang berbasis pada bahan bakar fosil—penebangan hutan dan pembukaan lahan yang massif untuk mengejar keuntungan ekonomi jangka pendek tanpa pertimbangan dan penyesuaian ekonomi yang baik, akan memperparah kesulitan kehidupan di masa yang akan datang. Sebab, dengan cara-cara biasa ini, gas-gas rumah kaca (GRK) termasuk diantaranya emisi CO2, tidak berhasil diturunkan, bahkan cenderung terus meningkat sejalan dengan gaya hidup dan keperluan manusia yang tidak mau berubah.
Dapat dibayangkan --mulai dari sekarang--secara perlahan kenaikan air laut menyebabkan kehilangan sebagian lahan pinggiran pantai dan tenggelamnya pulau-pulau kecil disamping meningkatnya intrusi air laut mencemari kualitas air di darat. Disamping itu, penghangatan suhu yang terjadi di laut mengakibatkan penurunan tangkapan produksi ikan, sebab ikan akan bermigrasi atau sebaliknya kekayaan keanekaragaman hayati laut semakin pupus akibat pemutihan terumbu karang atau terganggunya produktifitas jasad renik seperti plankton yang menjadi mata rantai makanan dalam ekosistem laut.
Perubahan iklim juga berdampak pada peningkatan curah hujan akibat evaporasi yang bertambah banyak. Peningkatan curah hujan ini akan berdampak—biasanya secara tiba-tiba-- menjadi bencana lingkungan yang rutin, misalnya banjir dan tanah longsor.
Maka, peradaban manusia pun, terancam kacau balau. Oleh sebab itu, kita pun hendaknya segera bertambah awas, merubah pola hidup dan mendidik generasi muda agar waspada terhadap ‘kecelakaan’ iklim yang akan pasti datang karena peristiwa lingkungan yang terjadi, misalnya melelehnya glatsier di Greeland dan Pegunungan Himalaya, menaiknya suhu bumi, tidak dapat dikembalikan segera tanpa adanya sebuah ‘revolusi’ peradaban yang harus dimulai sekarang juga.
Sementara dampak perubahan iklim telah terasa, pembicaraan formal antar negara—seperti yang dilakukan di Bali bulan Desember tahun lalu—terasa sangat lamban membawa manusia merubah sikapnya. Brown mengajak, kita harus bertindak sekarang juga ( h.265). Bayangkan saja, setelah ada Bali Road Map yang menjadi mandat dari UNFCCC-COP 13, maka perlu beberapa tahun lagi berbagai bangsa menguras tenaga dan pikiran dalam konferensi demi konferensi: COP 14 di Warsawa, dan COP 15 di Copenhagen, setelah itu lalu ada pengganti Protokol Kyoto pasca tahun 2012. Protokol baru lagi akan memakan waktu bertahun-tahun untuk meratifikasi konvensi baru tersebut! Padahal banyak bangsa –termasuk Indonesia—telah menjadi babak belur dengan bencana-bencana lingkungan.
Tindakan terbaik melakukannya sekarang adalah dengan kesadaran dan sukarela. Beberapa negara dan bangsa, memang ada yang telah lebih dahulu bersikap untuk secara memulai merubah sikap baik secara politis hingga pada tingkat aksi. Misalnya apa yang dilakukan oleh Selandia Baru, PM Helen Clarke, mengumumkan akhir tahun 2007 lalu, bahwa negaranya akan merubah energi listriknya menjadi 70 persen berbasis hidro dan geothermal, dan perubahan ini akan menjadi 90 persen pada tahun 2025. Negeri ini juga akan memotong emisi karbon perkapita penduduknya dari segi transportasi menjadi setengahnya pada tahun 2040 dan negeri Kiwi ini berencana berekspansi mengembangkan kawasan hutannya menjadi 250,000 hektar pada tahun 2020, yang diperkirakan akan mengikat 1 juta ton karbon setahun.
Buku ini menawarkan Rencana B, karena rencana A, adalah gaya hidup seperti adanya sekarang (bussines as usual—BAU) yang ternyata tidak dapat menghindarkan kita dari ancaman pemanasan global. Pada rencana B pada seperti dianjurkan oleh Brown, adalah upaya bagaiman kita –secepat mungkin menurunkan tingkat emisi secara drastis dengan melakukan berbagai restrukturisasi. Ada dua hal yang harus direstrukturisasi untuk menurunkan emisi CO2: pertama, restrukturisasi energi yang terdiri upaya menggantikan bahan bakar fosil pada sumber enernya yang berkelanjutan dan terperbarukan untuk listrik serta bahan bakar. Kedua, penyesuaian juga harus dilakukan di bidang sistem transportasi, serta pengurangan pemanfaatan batu bara dan minyak bumi di bidang industri. Ketiga, upaya harus juga dilakukan dengan mempertahankan dan menambah keseimbangan daya serap karbon, dengan cara: menghentikan sama sekali pembukaan lahan dan hutan, menanam kembali pohon untuk menyerap karbon, dan mengelola lahan untuk mengikat karbon (h. 274). Angka-angka realistis untuk menuju pada keselamatan peradaban dibuat dalam buku ini. Namun itu semua kembali pada komitmen global dan kekompakan memobilisasi bangsa dari berbagai negara yang merupakan pekerjaan yang tidak ringan.
Diakhir buku ini, Brown yang telah lama menjadi penulis lingkungan, melemparkan pertanyaan yang sanga substantif: “Persoalannya memang akan kembali kepada kita semua: anda dan saya. Apakah kita akan tetap pada BAU mengejar keuntungan ekonomi sambil menghancurkan sistem alami yang ada hingga kita turut hancur bersamanya atau kita segera mengadopsi Rencana B yang menjadi arah bagi generasi kita maupun generasi mendatang dalam mengelola kehidupan di muka bumi. Pilihan ini, harus diputuskan oleh generasi kita sekarang yang akan berdampak pada kehidupan di bumi untuk generasi yang akan datang”. Buku ini dipenuhi referensi dan bukti-bukti kajian global tentang akibat langsung yang mulai dirasakan terjadi akibat perubahan iklim, sehingga para pengambil kebijakan sepantasnya membacanya dan mempertimbankan rencana B yang ditulis dan dikaji oleh Brown dengan bersusah payah. ***
---Fachruddin M. Mangunjaya, bekerja sebagai staff di Conservation International Indonesia.
Subscribe to:
Posts (Atom)